Breaking News

Ajaran Hindu dan Jejak Manu/Noah/Nuh: Menelusuri Titik Temu Peradaban Tertua

Oleh: M. Tajir Asyjar Djr


Lambenyalombok|Dalam mosaik besar sejarah manusia, terdapat kisah-kisah yang mengendap dalam teks kuno, mitologi, dan kitab-kitab suci. Salah satunya adalah kisah banjir besar dan sosok penyelamat umat manusia—yang dikenal sebagai Manu dalam ajaran Hindu dan Nuh dalam tradisi Samawi. Apakah keduanya sekadar legenda yang mirip, atau cerminan dari satu sumber peradaban spiritual yang sama?


Manu dan Nuh: Dua Nama, Satu Narasi Besar?

Dalam Manusmriti, Manu adalah leluhur manusia yang selamat dari banjir besar dengan membangun bahtera, membawa serta benih kehidupan dan nilai-nilai kebaikan. Ia kemudian menjadi penyusun tatanan hukum moral dan sosial masyarakat Hindu.

Kisah ini sejajar dengan narasi Nabi Nuh dalam al-Qur'ân dan Noah dalam Injil, yang diperintahkan Tuhan untuk menyelamatkan makhluk hidup dari azab banjir universal. Keduanya dianggap figur transisi dari satu zaman ke zaman baru—figur yang bukan hanya penyelamat fisik, tapi juga pembawa hukum Tuhan kepada umatnya.

Prof. Menachem Ali: Menelusuri Jejak Filologis Manu dan Nuh

Dalam beberapa kajiannya, Prof. Menachem Ali—pakar filologi dan studi lintas agama dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya—menyampaikan bahwa kisah tentang tokoh penyelamat banjir besar tersebar luas di hampir semua peradaban tua, termasuk dalam Weda, Purana, al-Qur’ân, dan kitab-kitab Mesopotamia kuno.

Menurut Prof. Menachem, ini menunjukkan bahwa umat manusia memiliki shared memory atau memori kolektif spiritual yang diwariskan dari satu peristiwa monumental, yang oleh banyak tradisi disebut sebagai banjir besar. Ia menulis bahwa dalam teks Hindu Purba, sosok Satyavrata—nama lain dari Manu—memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan Nabi Nuh: saleh, taat, menerima wahyu Ilahi, membangun kapal, dan menjadi cikal bakal umat manusia pasca-banjir.

Lebih jauh, Prof. Menachem mengaitkan istilah "Manu" (dari akar kata Sanskerta man, manusia) dengan kata "Insan" dalam bahasa Arab, keduanya menunjuk pada esensi manusia sebagai makhluk berpikir dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Perspektif Lintas Tradisi: Dialog, Bukan Dominasi

Kajian lintas teks ini bukan untuk menyamakan doktrin, tapi sebagai jembatan pemahaman. Seperti diungkap oleh Prof. Menachem, “Bukan siapa meniru siapa, tapi siapa mewarisi apa.” Ini artinya, warisan spiritual dari masa lampau bisa jadi berkembang dalam narasi dan budaya yang berbeda, namun tetap berpangkal pada satu sumber wahyu universal.

Merayakan Kesamaan, Menghormati Perbedaan

Jika kisah Manu dan Nuh atau Noah memang berasal dari memori spiritual yang sama, maka ini bisa menjadi titik temu yang indah: bahwa umat manusia pernah diselamatkan bukan hanya oleh kapal kayu, tetapi oleh nilai-nilai luhur yang melampaui zaman.

Ajaran Hindu tentang Dharma, dan ajaran tauhid dalam Islam serta agama Ibrahimik lainnya, menunjukkan bahwa manusia dituntut hidup dalam kebenaran, keadilan, dan pengabdian pada Tuhan Yang Esa—apapun nama-Nya dalam teks.

Penutup: Warisan Langit di Bumi

Dalam dunia yang makin terpolarisasi, telaah filologi seperti yang dilakukan Prof. Menachem Ali memberi nafas baru. Ia mengajak kita menelusuri akar bersama dan menghargai cabang-cabang peradaban yang tumbuh darinya. Karena pada akhirnya, dialog spiritual lebih menyejukkan daripada klaim kebenaran yang membakar.

Semoga kajian ini menjadi pintu masuk bagi generasi muda untuk kembali menelusuri akar kebijaksanaan nenek moyang—bukan untuk nostalgia semata, tetapi untuk merawat harmoni yang telah diwariskan oleh Manu, Nuh/Noah, dan para utusan Tuhan lainnya.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close